Fakta Mengenai Pribadi Nancy Pelosi

Fakta Mengenai Pribadi Nancy Pelosi – Nama Nancy Pelosi mulai banyak diperbincangkan ketika ia membuat langkah berani dengan memimpin sidang pemakzulan Donald Trump pada 2019 lalu. Baru-baru ini Nancy menarik perhatian dunia setelah tindakannya menyobek salinan pidato Donald Trump setelah sidang senat AS .

Perempuan kelahiran Baltimore 26 Maret 1940 ini memang sudah dikenal sebagai sosok perempuan yang memiliki peran penting dalam dunia politik Amerika Serikat.

Berasal dari keluarga yang aktif di bidang politik membuat Nancy akrab dengan dunia tersebut sejak usia muda. Dulunya, ia banyak membantu ayahnya yang dulu menjabat sebagai Walikota Baltimore dan menjadi salah satu anggota DPR. www.mustangcontracting.com

Untuk mengetahui lebih dalam jejak keterlibatan Nancy Pelosi dalam profesinya yang terjun di dunia politik, berikut telah dirangkumkan beberapa famkta menarik mengenai diri Nancy Pelosi:

1.Telah lama terjun ke dunia politik AS

Fakta Mengenai Pribadi Nancy Pelosi

Keterlibatan Nancy Pelosi dalam dunia politik sepertinya sudah banyak diprediksi. Sebab keluarganya sendiri dikenal sebagai pejabat yang berdedikasi tinggi terhadap Partai Demokrat.

Dulunya, ia banyak membantu ayahnya, Thomas D’Alesandro Jr., yang pernah menjabat sebagai anggota DPR Amerika Serikat selama lima periode. Ayahnya juga pernah diangkat menjadi Walikota Baltimore selama 12 tahun.

Dalam politik AS, kiprah Nancy dimulai pada 6 Januari 1987, mewakili distrik 8 dari negara bagian California. Di tahun 2013 perannya kemudian sedikit berubah, ia mewakili distrik 12 di California dan menjadi anggota kongres. Sejak itu, karier Nancy di dunia politik kian bersinar. Terhitung pada 2019 lalu, Nancy sudah menjabat sebagai anggota kongres selama 17 tahun. Tak lupa, ia juga telah berhasil memimpin Partai Demokrat selama 16 tahun.

2.Perempuan Pertama yang Menjabat sebagai Ketua DPR

Pada tahun 2007, Nancy Pelosi mencetak sejarah dengan menjadi perempuan pertama yang terpilih sebagai Ketua DPR. Hal ini membuatnya menduduki posisi Ketua DPR ke-52 dalam pemerintahan Amerika Serikat.

Ia kemudian mengulang sejarah tersebut pada Januari 2019. Di masa ketiga jabatannya, ia kembali terpilih sebagai Ketua DPR. Hal tersebut membuat Nancy Pelosi menjadi orang pertama yang menjabat posisi itu secara berturut-turut dalam 60 tahun sejarah pemerintahan AS.

3.Sangat Aktif dan Berani Meski sudah Berusia 79 Tahun

Di sepanjang karier politiknya, Nancy Pelosi terkenal sebagai perempuan yang tidak ragu dalam menunjukkan ketidaksetujuannya akan sesuatu. Pada tahun 2007 lalu, Nancy bersama dengan Pimpinan Senat Harry Reid menyampaikan penolakan terhadap George W. Bush atas rencana penambahan tentara perang di Irak.

“Tidak ada solusi militer murni di Irak. Hanya ada solusi politik. Menambahkan lebih banyak pasukan tempur hanya akan membahayakan lebih banyak orang Amerika dan tak ada keuntungan strategis yang akan diperoleh,” tulis Nancy dalam sebuah surat kepada George W. Bush. Kala itu Nancy berusia 67 tahun dan posisinya menjabat sebagai anggota kongres.

Keberanian itu kembali ia tunjukkan baru-baru ini dengan menginisiasi pemakzulan Donald Trump yang dinilai melanggar sumpah kepresidenan. Nancy juga dengan gamblang menunjukkan perseteruannya dengan Trump dengan merobek berkas pidato sang presiden beberapa waktu lalu.

Tak hanya itu, Nancy juga selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dengan tegas. Saat ditanya apakah dia membenci Presiden Donald Trump, ia menjawab dengan tegas bahwa dia tidak membenci siapapun dan semua yang ia lakukan adalah demi kebaikan masyarakat Amerika. Sebab saat itu Nancy dan Partai Demokrat dianggap melakukan pemakzulan karena mereka membenci Trump.

“Saya tidak membenci siapapun. Saya tumbuh di keluarga Katolik dan kami tidak membenci siapapun. Jangan menuduh saya,” ungkap Nancy dengan tegas sambil menunjuk-nunjuk sang wartawan.

4.Masuk dalam Daftar Perempuan Paling Berkuasa di Tahun 2019

Fakta Mengenai Pribadi Nancy Pelosi

Pada bulan Maret 2019, Pelosi memimpin rapat pemakzulan Donald Trump yang dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan. Sebelumnya ia pernah mengatakan bahwa pemakzulan akan memecah belah negara. Namun ia kemudian berubah pikiran karena menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Donald Trump merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sumpah kepresidenan.

“Demokrasi kita dipertaruhkan. Presiden tidak memberi kami pilihan selain untuk bertindak karena dia mencoba mengorupsi, sekali lagi, pemilu demi keuntungannya sendiri. Presiden menyalahgunakan kekuasaan, membahayakan keamanan nasional, dan merusak integritas pemilu kita,” ungkap ibu lima anak ini seperti dikutip dari Reuters.

Atas ketegasannya, Nancy terpilih menjadi salah satu perempuan yang masuk dalam daftar The Most Powerful Women 2019 versi majalah Forbes.

5.Tidak Maju Jadi Anggota Kongres Sebelum Anak-anaknya Dewasa

Meski terlahir dalam keluarga yang aktif dalam dunia politik, Nancy Pelosi tidak mau serius menjabat posisi penting sampai anaknya yang paling kecil jadi senior di SMA. Oleh karena itu ia baru mencalonkan diri sebagai anggota kongres ketika sudah berusia 47 tahun.

Lebih dari itu, ia juga mengaku bahwa latar belakang orang tuanya bukanlah hal yang mendorong ia terjun ke dunia yang sama. Ia ingin terlibat dalam sektor pemerintahan karena anak-anaknya.

Menikah dengan Paul Pelosi pada 1963, Nancy dikaruniai empat anak perempuan dan satu anak laki-laki. Sebagai seorang ibu, ia memiliki kepekaan yang tinggi terhadap anak-anak. Oleh karena itu Nancy tergerak untuk berkecimpung di dunia politik karena ingin membantu membuat perubahan bagi anak-anak kurang beruntung di AS.

“Apa yang membuat saya keluar dari dapur dan kemudian memilih menjadi anggota kongres adalah karena saya tahu bahwa ada satu dari lima anak di Amerika hidup dalam kemiskinan. Saya tidak bisa berdiam diri melihat hal itu. Jadi ya, alasan saya terjun ke dunia politik adalah karena anak-anak saya,” ungkap Nancy Pelosi seperti dikutip dari Washington Post.

Nyatanya, dalam kepemimpinannya selama berada di dunia politik, Nancy memang terkenal karena sifat keibuannya. Hal ini diungkapkan oleh Dee Dee Myers, mantan sekretaris pers Bill Clinton, sekaligus penulis buku ‘Why Women Should Rule the World.

“Anda akan belajar banyak sebagai orang tua dan peran sebagai ibu bisa sangat membantu Anda dalam memimpin. Lima anak bisa jadi hal yang menyibukkan. Dan memiliki lima anak-anak atau anak remaja membuat Nancy Pelosi siap menghadapi Donald Trump,” Dee Dee Myers.

6.Suka Ngemil Cokelat dan Es Krim serta Main TTS di Waktu Luang

Sebagai politisi, Nancy Pelosi juga memiliki kehidupan yang normal seperti perempuan pada umumnya. Ia juga punya hobi menyelesaikan teka-teki silang dari koran New York Times yang terkenal sangat menantang dan sulit terpecahkan.

Menjadi perempuan yang sibuk dan kerap dihadapkan dengan masalah politik, Nancy juga memiliki cara tersendiri untuk menjaga agar mood-nya tetap membaik. Melansir US News, Nancy Pelosi kerap menyimpan cokelat dan es krim cokelat di ruangannya sebagai makanan ringan favorit. Seperti yang banyak diketahui, cokelat dan es krim menjadi makanan yang ampuh mengembalikan mood menjadi lebih baik dan bisa meredakan stres.

Aksi Demonstrasi Rasisme Polisi Di Amerika Utara

Aksi Demonstrasi Rasisme Polisi Di Amerika Utara – Ratusan orang melakukan protes di London dan Berlin pada Minggu 31 Mei 2020, dalam solidaritas dengan demonstrasi di Amerika Serikat atas kematian seorang pria kulit hitam, George Floyd. Kematian Floyd karena tak bisa bernafas akibat lehernya ditekan lutut seorang polisi terekam dalam video yang kemudian viral.

Meski Floyd sempat dilarikan ke rumah sakit, nyawanya tak tertolong setelah mendapatkan kekerasan berupa injakan lutut di lehernya yang mengakibatkan dia sulit bernapas. Rekaman kejadian tersebut serta erangan Floyd saat mendapat perlakuan itu beredar luas dan memantik protes.

Para pengunjuk rasa berlutut di Lapangan Trafalgar London pusat, meneriakkan “Tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian”, dan kemudian berbaris melewati Gedung Parlemen dan berakhir di luar Kedutaan Besar AS. https://www.mustangcontracting.com/

Ratusan demonstran juga menggelar unjuk rasa di luar Kedutaan Besar AS di Berlin, memegang poster yang bertuliskan “Keadilan untuk George Floyd”, “Berhentilah membunuh kami” dan “Siapa di belakang”.

Aksi Demonstrasi Rasisme Polisi Di Amerika Utara

Kematian George Floyd telah memicu gelombang protes di Amerika Serikat, melepaskan kemarahan lama yang membara atas bias rasial dalam sistem peradilan pidana AS.

Lalu, apa yang menyebabkan masih banyak kasus rasis di dunia terutama Amerika Serikat?

Menurut Robin Di Angelo dalam bukunya yang berjudul “White Fragility” menyebutkan bahwa orang kulit putih yang progresif sering mendefinisikan rasisme sebagai sesuatu yang jelas dan sikap keras.

Seperti ketika polisi memukuli demonstran hak sipil di Selma pada 1965. Faktanya, itu adalah tindakan yang sangat berbahaya.

“Dalam pengalaman saya, hari demi hari, sebagian besar orang kulit putih sama sekali tidak menerima alasan dalam buku itu dan tak mengetahui dampaknya pada orang lain,” kata DiAngelo.

“Mereka bersikeras, ‘ini bukan aku’, atau mengatakan ‘Aku melakukan yang terbaik, apa yang kamu inginkan dariku?’.”

“Buku ini berpusat pada konteks kolonial barat kulit putih, dan dalam konteks itu orang kulit putih memegang kekuasaan institusional.”

Tetapi selama 20 tahun melakukan pelatihan seputar ras dan keanekaragaman, DiAngelo telah menemukan bahwa orang kulit putih progresif yang mengatakan mereka ingin menjadi sekutu bagi orang kulit berwarna sering tidak nyaman karena dampak dari perilaku mereka sendiri.

DiAngelo mendefinisikan ini sebagai kerapuhan orang kulit putih yang rasis itu. Atau ketidakmampuan orang kulit putih untuk mentolerir tekanan ras.

“Saya ingin membangun stamina untuk mengatasi ketidaknyamanan sehingga kami tidak mundur menghadapinya, karena mundur menahan status quo, dan status quo adalah reproduksi rasisme,” DiAngelo menjelaskan.

“Jika tidak ada yang rasis, mengapa rasisme masih menjadi masalah terbesar Amerika?”

Wali Kota Minneapolis Jacob Frey menyebut bahwa hukuman bagi kriminal telah disiapkan bagi petugas kepolisian yang terekam terlibat menghilangkan nyawa Floyd. Empat petugas yang terlibat telah dipecat.

Sejumlah bank, anjungan tunai mandiri (ATM), pertokoan, perpustakaan tak luput dari kerusakan akibat protes. Hal itu menunjukkan kemarahan jelas dari para demonstran yang diperkirakan akan terus melancarkan aksinya bukan hitungan hari melainkan minggu.

Sebelumnya, saudara kandung Floyd, Philonise Floyd berharap agar para petugas kepolisian yang terlibat penyiksaan itu mendapatkan hukuman mati.

Dia pun menilai demonstran dan aksinya yang berakhir rusuh mencerminkan amarah yang tak bisa dia kendalikan. Alasannya, karena mungkin para demonstran merasakan sakit yang sama dengan yang dia rasakan. Dia merasa lelah melihat banyak orang kulit hitam mati dibunuh.

“Saya tak akan pernah mendapatkan kembali saudara kandung saya. Kami butuh keadilan,” katanya.

Insiden seperti kematian Floyd bisa “menjadi momen pemicu karena mewakili pengalaman yang lebih luas di antara banyak orang, tentang hubungan antara polisi dan komunitas kulit hitam”, kata Profesor Clifford Stott, seorang ahli yang mempelajari perilaku kerumunan dan ketertiban umum di Universitas Keele, Inggris.

Konfrontasi sangat mungkin terjadi ketika ada ketidaksetaraan struktural, tambahnya.

Stott mempelajari secara luas soal kerusuhan di Inggris pada 2011, dan mendapati bahwa kerusuhan di sana meluas karena para pengunjuk rasa di kota-kota yang berbeda saling mengidentifikasi – baik karena etnis mereka, atau karena mereka memiliki rasa benci yang sama terhadap polisi.

Ini berarti bahwa, ketika polisi tampak kewalahan, para perusuh di berbagai distrik merasa diberdayakan untuk melakukan mobilisasi.

Bagaimana polisi bereaksi terhadap sebuah demonstrasi?

Kericuhan mungkin tidak akan terjadi jika polisi menjalin hubungan baik dengan masyarakat setempat, namun yang tak kalah penting, menurut para ahli, bagaimana polisi bereaksi terhadap demonstrasi tersebut.

“Kerusuhan adalah produk interaksi, sebagian besar berkaitan dengan sifat cara polisi memperlakukan orang banyak,” kata Prof Stott.

Sebagai contoh, katanya, dalam kerumunan besar para pengunjuk rasa, ketegangan bisa muncul hanya karena beberapa orang melawan polisi.

Namun, “polisi sering bereaksi terhadap massa secara keseluruhan” dan jika orang merasa bahwa penggunaan kekerasan oleh polisi terhadap mereka tidak dapat dibenarkan, ini meningkatkan mentalitas “kita lawan mereka”.

Ini “dapat mengubah cara orang merasakan tentang kekerasan dan konfrontasi – misalnya, mereka mungkin mulai merasa bahwa kekerasan itu sah-sah saja karena situasi yang ada.”

Aksi Demonstrasi Rasisme Polisi Di Amerika Utara

Darnell Hunt, dekan ilmu sosial di UCLA, yakin polisi di AS “meningkatkan agresivitas mereka” selama akhir pekan.

“Mengerahkan garda nasional, menggunakan peluru karet, gas air mata, dan semprotan merica. Ini adalah serangkaian taktik polisi yang dapat memperburuk situasi yang sudah tegang.”

Ini adalah pola yang juga sudah terlihat dalam sejumlah aksi unjuk rasa lainnya di seluruh dunia. Misalnya, pada 2019, selama tujuh bulan Hong Kong dilanda protes antipemerintah, yang sebagian besar awalnya berlangsung damai dan berakhir dengan kericuhan.

Para pakar menyoroti serangkaian taktik polisi yang dipandang sebagai tangan kosong – termasuk penembakan gas air mata dalam jumlah besar terhadap para demonstran muda – sebagai langkah yang bisa membangkitkan emosi para pengunjuk rasa dan membuat mereka lebih konfrontatif.

Prof Stott berpendapat bahwa pasukan polisi yang telah berinvestasi dalam pelatihan deeskalasi lebih mungkin untuk menghindari kekerasan saat berlangsungnya unjuk rasa.

Dia merujuk berbagai unjuk rasa yang bisa tetap berlangsung damai di AS selama akhir pekan, seperti di Camden, New Jersey, ketika para petugas kepolisian bergabung dengan warga dalam pawai melawan rasialisme.

Kepolisian Camden mengunggah foto di Twitter yang menunjukkan kepala kepolisian berdiri dengan para pengunjuk rasa: Chief Wysocki dalam aksi hari ini, bergabung bersama warga untuk mengenang George Floyd.

Tergantung pada apa yang diyakini

Psikologi moral dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa unjuk rasa berubah menjadi kericuhan, kata Marlon Mooijman, seorang asisten profesor dalam perilaku organisasi di Rice University, Amerika Serikat.

Moralitas seseorang adalah pusat bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Jadi “ketika kita melihat sesuatu sebagai tidak sesuatu yang tidak bermoral, itu menciptakan perasaan yang kuat, karena kita merasa pemahaman kita tentang moralitas harus dilindungi”.

“Ini dapat mengesampingkan kekhawatiran orang lain tentang menjaga perdamaian”, karena “jika Anda berpikir sistemnya rusak, Anda akan benar-benar ingin melakukan sesuatu yang drastis untuk menunjukkan bahwa itu tidak dapat diterima.”

Ini dapat berlaku untuk berbagai kepercayaan, misalnya, dalam kasus yang ekstrem, seseorang yang menganggap aborsi adalah penghinaan moral mungkin lebih cenderung mengatakan tidak apa-apa untuk mengebom klinik aborsi, katanya.

Penelitian menunjukkan bahwa media sosial juga bisa membuat orang lebih rentan untuk mendukung kekerasan, jika mereka percaya bahwa teman sebaya mereka memiliki pandangan moral yang sama dengan mereka, tambahnya

Penjarahan dan vandalisme bisa menjadi target

Di AS, ratusan bisnis mengalami kerugian, dan penjarahan pun meluas di Los Angeles dan Minneapolis selama akhir pekan.

Namun, Prof Stott memperingatkan meskipun mudah untuk berasumsi bahwa kerusuhan dan kerumunan itu “tidak rasional dan kacau, tak ada satupun yang benar – itu sangat terstruktur dan bermakna bagi orang-orang yang mengambil bagian”.

“Sampai batas tertentu, penjarahan adalah ekspresi dari kekuatan – warga kulit hitam mungkin merasa tidak berdaya dalam kaitannya dengan polisi – tetapi dalam konteks kerusuhan, para perusuh sejenak menjadi lebih kuat daripada polisi.”

Berbagai penelitian yang mempelajari tentang kerusuhan sebelumnya menunjukkan bahwa tempat-tempat yang dijarah sering kali terkait dengan bisnis-bisnis besar, dan bahwa penjarahan “sering kali berkaitan dengan perasaan ketidaksetaraan yang terkait dengan hidup dalam ekonomi kapitalistik”, katanya.

Prof Hunt mempelajari kerusuhan Los Angeles tahun 1992, yang dipicu oleh pembebasan empat petugas polisi kulit putih terkait rekaman video yang memperlihatkan pemukulan terhadap pengendara motor kulit hitam, Rodney King.

Dia mengatakan ada “sejarah panjang penargetan, atau selektivitas”, dalam vandalisme dan penjarahan.

“Dalam pemberontakan LA, anda melihat para pengunjuk rasa menyemprotkan cat dengan tulisan ‘milik minoritas’ di pusat-pusat bisnis.

Namun, baik Prof Stott dan Prof Hunt mengingatkan bahwa masalah penjarahan ini adalah hal yang pelik, terutama karena banyak orang dengan motivasi berbeda ikut serta, termasuk orang miskin, atau penjahat terorganisir.

Gagasan bahwa kerusuhan menjadi sasaran dan peristiwa yang berarti bagi mereka yang ikut serta juga dapat menjelaskan mengapa penjarahan terjadi dalam beberapa protes, tetapi tidak pada yang lain.

Di Hong Kong misalnya, para pengunjuk rasa menghancurkan jendela toko, melemparkan bom bensin ke polisi, dan merusak lambang nasional – namun tidak ada penjarahan.

Lawrence Ho, seorang spesialis pemolisian dan ketertiban umum di Education University of Hong Kong, meyakini unjuk rasa ini dipicu oleh perkembangan politik dan kemarahan pada polisi, bukan diskriminasi dan ketidaksetaraan sosial.

“Vandalisme ditargetkan pada toko-toko yang tampaknya memiliki koneksi kuat dengan daratan China,” kata Dr Ho. “Itu adalah upaya yang disengaja untuk menyampaikan pesan.”